Dengan luas daratan 1.919.440 km2, luas lautan 3.273.810 km2, dan jumlah pulau mencapai 17.508 buah (Wikipedia, 2013), serta kekayaan alam yang melimpah ruah, krisis energi menjadi ironi tersendiri bagi bangsa ini.
Gambar 1. Peta Indonesia
Sampai hari ini, Indonesia masih mengimpor BBM yang jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan kalkulasi Kementerian ESDM impor BBM Indonesia saat ini mencapai 400 ribu barel/hari dan impor minyak mentah mencapai 350 ribu barel/hari (detik.com, 2013). Kenyatan ini membuat cita-cita kemandirian energi nasional kian buyar. Padahal, Indonesia memiliki banyak peluang dalam mengembangkan energi alternatif.
Di lain pihak, eksploitasi secara terus-menerus terhadap energi yang berasal dari bahan bakar fosil (unrenewable energy) untuk berbagai keperluan manusia seperti industri, transportasi, dan rumah tangga mengakibatkan keberadaan energi tersebut semakin berkurang. Sementara itu, permintaan konsumen terhadap bahan bakar fosil terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan industri, dan produksi kendaraan bermotor. Kondisi ini menyebabkan permintaan bahan bakar fosil tidak sebanding lagi dengan produksinya sehingga dikuatirkan di masa yang akan datang energi tersebut akan habis. BP Migas (sekarang SKK Migas) dalam Statistical Review of World Energy Tahun 2011 memperkirakan bahwa jumlah energi fosil dari seluruh dunia hanya akan cukup digunakan sampai tahun 2050 (BP Migas, 2011). Hal ini juga diperparah oleh dampak penggunaan energi fosil yang semakin terasa, terutama dalam menginduksi terjadinya peningkatan pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim dunia.
Seiring dengan ketersediaan energi dunia (bahan bakar fosil) yang kian menipis, Indonesia pun mulai sadar untuk melakukan transformasi kebijakan di bidang energi. Pencarian energi alternatif dipandang sebagai langkah jitu guna menjawab tantangan energi di masa mendatang sekaligus memutus rantai ketergantungan Indonesia pada energi dunia. Kebijakan yang diambil pemerintah telah melahirkan beberapa opsi sumber energi masa depan seperti geothermal, tenaga angin, tenaga ombak, solar cell, biomassa, hingga nuklir. Dari sekian banyak opsi tersebut, pemerintah masih terlihat gamang dalam menentukan opsi prioritas.
Terlepas dari itu semua, ternyata Indonesia menyimpan sebuah potensi energi yang menjanjikan yaitu biofuel dari mikroalga. Banyak yang belum mengetahui hal ini, namun di beberapa negara pengembangan mikroalga sebagai biodiesel dan bioetanol terus dilakukan. Sebelum menguak lebih jauh potensi energi dari mikroalga, sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu apa itu mikroalga.
Kaya Kandungan Bahan Baku Biofuel
Bagi masyarakat awam, mikroalga lebih dikenal dengan sebutan rumput laut atau ganggang. Tanaman berklorofil ini hidup hampir di seluruh perairan Indonesia baik air tawar maupun air asin. Ukuran tubuhnya berada dalam orde mikro (~ 10-6m) sehingga dinamakan mikroalga. Mikroalga umumnya bersel satu atau berbentuk benang, sebagai tumbuhan yang dikenal dengan istilah fitoplankton. Spesies ini memiliki zat hijau daun (klorofil) yang berperan dalam fotosintesis untuk menghasilkan bahan organik dan oksigen dalam air.
Spesiesnya juga sangat banyak, di Indonesia diperkirakan hidup ribuan jenis mikroalga. Sebagai produsen dalam rantai makanan, mikroalga memiliki kandungan nutrisi yang beragam.
Gambar 2. Penampakan mikroskopis berbagai jenis mikroalga
Berdasarkan berbagai riset, di dalam tubuh mikroalga terkandung senyawa kimia berupa protein, lemak, karbohidrat, asam amino, asam lemak, dan mineral. Komposisi kandungan kimia dari setiap spesies mikroalga pun berbeda-beda. Namun, pada umumnya lemak dan karbohidrat merupakan kandungan kimia yang paling dominan pada tubuh mikroalga.
Kandungan lemak dan karbohidrat inilah yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Lemak dapat dikonversi menjadi biodiesel sedangkan karbohidrat dapat dikonversi menjadi bioetanol. Para peneliti telah membuktikan bahwa biofuel dari mikroalga memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan biomassa lainnya (jarak pagar ataupun kelapa sawit). Selama ini, mikroalga hanya digunakan sebagai pakan larva ikan dalam proses budidaya, namun siapa sangka bahwa spesies perairan ini memiliki potensi besar sebagai penghasil biofuel.
Alasan Memilih Mikroalga
Dengan luas perairan yang dimiliki Indonesia, budidaya mikroalga sebagai bahan baku biofuel adalah sebuah keniscayaan. Fakta ini didukung oleh iklim tropis yang dimiliki Indonesia. Kondisi suhu dan lingkungan tropis merupakan habitat terbaik bagi pertumbuhan mikroalga dibandingkan iklim subtropis. Dari segi komposisi kimia, spesies ini memiliki kandungan lipid dan karbohidrat yang sangat tinggi yaitu 15%-75% lipid dan 5-68% karbohidrat dari berat kering mikroalga.
Pengembangan mikroalga sudah dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Berdasarkan perhitungan yang ada, pengolahan mikroalga untuk lahan seluas 4.646.000.000 ha mampu menghasilkan biodiesel yang akan dapat mengganti kebutuhan solar di Amerika Serikat. Luas lahan ini hanya 1% dari total lahan Indonesia yang digunakan untuk lahan pertanian dan padang rumput (Oilgae.com). Wagner (2007) melaporkan pula bahwa mikroalga dapat menghasilkan biodiesel 18.927-75.708 liter/acre/tahun. Oleh sebab itu, mikroalga sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia sebagai bahan baku biodiesel. Sementara di Denmark, mikroalga yang ditanam pada sistem tertutup mampun menghasilkan bioetanol 175-262 ton/ha/tahun.
Waktu panen untuk menghasilkan biofuel dari mikroalga terbilang singkat, yaitu sekitar 10-20 hari. Sedangkan tumbuhan jarak pagar dan kelapa sawit membutuhkan berbulan-bulan hingga bertahun-tahun untuk dapat menghasilkan biofuel. Karena waktu untuk panennya terbilang cepat, maka biaya produksi mikroalga menjadi biofuel sangatlah rendah. Dari segi perawatan, mikroalga tidak memerlukan metode perawatan yang intensif, hanya saja diperlukan kontrol terhadap faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang biasanya berpengaruh pada mikroalga adalah curah hujan. Namun, hal ini dapat diatasi dengan menanam alga ini pada suatu kolam tertutup.
Bicara produktifitas, mikroalga jauh unggul dari beberapa tanaman penghasil biofuel saat ini. Biji gandum mampu menghasilkan biofuel sebanyak 2.500 liter/ha, jagung sebesar 3.500 liter/ha, tebu 6.000 liter/ha, sedangkan mikroalga mampu mencapai ratusan ribu liter/ha. “Menurut Shanap dkk (2009), persentase minyak yang dapat dihasilkan oleh mikroalgaskopis dapat mencapai 136.900 liter/ha dibandingkan dengan tumbuhan jarak pagar dan kelapa sawit yang hanya menghasilkan masing-masing 1.892 liter/ha dan 2689 liter/ha untuk biomassa yang sama.”
Keuntungan lain memilih mikroalga adalah spesies ini bukan merupakan produk pangan sehingga tidak akan berkompetisi dengan kebutuhan manusia. Dan yang lebih penting biofuel dari mikroalga sangat ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Minyak bumi kasar (baru keluar dari sumur eksplorasi) mengandung ribuan macam zat kimia yang berbeda baik dalam bentuk gas, cair maupun padatan. Permasalahan terjadi ketika produk minyak bumi yang dimanfaatkan manusia memunculkan efek yang tidak diinginkan bagi manusia itu sendiri ataupun bagi lingkungan sekitar terutama aspek pencemaran. Berbeda dengan minyak bumi, biofuel dari mikroalga tergolong ramah terhadap lingkungan. Biofuel ini diperkirakan mampu mereduksi karbon monoksida hingga mencapai sekitar 50% dan karbondioksida hingga 78%. Selain itu, mikroalga juga tidak mengandung sulfur serta mampu memperkecil resiko penyakit kanker hingga 94% (Rahardi, 2007).
Dari segi sustainablity, mikroalga tergolong energi terbarukan sehingga kita tidak perlu kuatir sumber energi ini habis di masa mendatang. Beberapa keunggulan dari mikroalga yang telah dipaparkan setidaknya mampu membuka mata pemerintah dalam memiliki prioritas pengembangan energi di masa mendatang. Semua kriteria yang diinginkan pemerintah dan masyarakat dalam pengembangan energi telah dimiliki oleh mikroalga. Jadi apa yang kita tunggu?
Menurut Journal of Chemical Technology and Biotechnology edisi 2009, spesies mikroalga yang mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol adalahPrymnesium parvum sp., Chlorococum sp., Tetraselmis suecia., Anthrospira sp., danChlorella sp. Sedangkan spesies mikroalga yang dapat dijadikan sebagai bahan baku biodiesel meliputi Scenedesmus sp., Chlamydomonas sp., Chlorella sp., Spirogyra sp.,Euglena sp., Nitzschia sp., dan Prymnesium sp.
Proses Budidaya
Budidaya mikroalga dapat dilakukan dengan sistem terbuka dan sistem tertutup. Penggunaan sistem terbuka dapat membuat mikroalga mudah terserang kontaminasi spesies alga lain dan bakteri. Sistem terbuka juga memiliki sistem kontrol yang lemah, misalnya dalam mengatur temperatur air, konsentrasi karbon dioksida, dan kondisi pencahayaan. Sedangkan keuntungan penggunaan sistem terbuka adalah untuk memproduksi alga hanya perlu dibuatkan sirkuit atau kolam. Dalam kolam ini alga, air dan nutrisi disebarkan dalam kolam yang berbentuk seperti sirkuit. Aliran air dalam kolam sirkuit dibuat dengan pompa air. Kolam biasanya dibuat dangkal supaya alga tetap dapat memperoleh sinar matahari karena sinar matahari hanya dapat masuk pada kedalaman air yang terbatas.
Alternatif lain cara pembudidayaan alga ini adalah dengan menumbuhkannya pada struktur tertutup yang disebut photobioreactor yang kondisi lingkungannya lebih terkontrol dibandingkan sistem terbuka. Sebuah photobioreactor adalah bioreactor dengan beberapa tipe sumber cahaya, seperti sinar matahari dan lampu fluorescent. Photobioreactor juga memungkinkan dilakukannya peningkatan konsentrasi karbondioksida di dalam sistem sehingga mempercepat pertumbuhan alga. Meskipun biaya investasi awal dan biaya operasional dari sebuah photobioreactor akan lebih tinggi dibandingkan dengan kolam terbuka. Hal ini akan membuat pengembalian biaya modal dan biaya operasional dengan cepat (Negara, 2007).
Mikroalga yang tumbuh akan membentuk suatu biomassa yang siap untuk dipanen. Proses pemanenan dapat dilakukan dengan berbagai metode yang disesuaikan dengan jenis alga.
“Rahardi (2006) mengatakan bahwa proses pemanenan mikroalga dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penyaringan mikro, sentrifugasi dan flokulasi. Flokulasi merupakan proses pemisahan alga dari air dengan bantuan zat kimia.”
Sama seperti tumbuhan, mikroalga juga memerlukan tiga komponen penting untuk tumbuh yaitu sinar matahari, karbondioksida dan air. mikroalga menggunakan sinar matahari untuk menjalankan proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses biokimia penting bagi mikroalga untuk mengubah sinar matahari menjadi energi kimia. Energi kimia ini akan digunakan untuk menjalankan reaksi kimia, misalnya pembentukan senyawa gula, fiksasi nitrogen menjadi asam amino dan lain sebagainya. mikroalga juga membutuhkan nutrisi-nutrisi lain untuk mengoptimalkan pertumbuhanya, yaitu nitrogen, fosfat, dan zat besi (Graham dan Wilcox, 2000). Berikut adalah bagan pembudidayaan mikroalga dan pemrosesan hingga terbentuk biofuel.
Gambar 3. Proses pembudidayaan mikroalga penghasil biofuel
(sumber : dokumentasi pribadi).
Melihat potensi yang dimiliki mikroalga sebagai bahan bakar nabati (BBN) maka harapan besar untuk mencapai kemandirian energi nasional di masa depan tidak lagi menjadi retorika belaka. Kita pun harus segera membiasakan diri hidup tanpa bahan bakar fosil dan beralih menuju era energi hijau, terbarukan, dan murah. Semoga.
Referensi
BP Migas. 2011. Energy Sustainability. Available from : URL : http://www.bp.com/sectionbodycopy.do?categoryId=3412&contentId=7081517. Accessed January 11, 2011.
Graham L.E dan Wilcox L.W. 2000. Algae. Prentice Hall. USA.
Negara T.A. 2007. Membuat Biodiesel dari Tumbuhan Alga. Availabe from: URL: http://www.kamase.org. Accessed: October 1, 2013.
Shanab R.A, Byong H.J, Hocheol S, Yongje K, Jae H.H. 2009. Alga Biofuel : Potential Use as Sustainable Alternatif Green energy. Online Journal on Power and Energy Engineering (OJPEE). 1 (1) : 4-6.
Wagner L. 2007. Biodiesel from Algae Oil. Research report. MORA Associates Ltd.